Kisah saya terjadi dalam 2 tahun terakhir, ketika saya memulai bisnis di S city. Saya baru saja menyelesaikan bisnis pinjaman modal dengan bank swasta di kota ini. Tidak ada pertanda bencana ekonomi yang akan datang seperti yang terjadi akhir-akhir ini, sehingga industri perbankan tampaknya berjalan lancar. Bankir yang bertanggung jawab atas pinjaman saya adalah mantan teman SMA saya.
Sebut saja namanya Nana. Dia hanya bekerja di bank selama beberapa bulan setelah menyelesaikan studinya di Amerika Serikat. Menurutku, Nana di SMA itu nerd. Dia memakai kacamata, duduk di barisan depan, rajin bertanya, dan catatannya cenderung menjadi salinan terlaris saat musim ujian mendekat. Pada saat yang sama, saya sendiri termasuk dalam kelompok yang ceroboh, dengan nilai yang sering kali biasa-biasa saja kecuali dalam pelatihan atletik.
Setelah menandatangani banyak kontrak dan perjanjian, saya memutuskan untuk mengajaknya makan siang, bukan lagi seorang kreditur, tetapi seorang teman lama. Nana setuju karena pinjaman saya saat itu memungkinkan dia untuk memenuhi target bulanannya.
Kami berkendara ke sebuah hotel yang cukup terkenal di S City karena berada di gedung yang sama dengan pusat perbelanjaan TP3. Kami butuh waktu lama untuk memesan menu a la carte karena harga menu buffet tentu tidak terlalu ekonomis. Selama makan, Nana tetap diam seperti biasa. Aku mencoba mengamati wajah manisnya. Aku melihat alis tipisnya, hidung mancung, bibir tipis, dan lehernya. Leher terindah, mulus dan mulus.
Melihat ke bawah lagi untuk melihat bahwa kancing atas kemejanya tidak dikancing, saya bisa membayangkan seperti apa bentuk tubuhnya di bawah kemeja itu. Sambil menikmati keindahannya, Nana sepertinya sudah memperhatikanku sejak tadi.
Dia tersenyum, mengambil serbet, menyeka bibirnya, dan berkata, “Jane, apakah kamu masih mendengar hal yang sama seperti yang saya dengar?”
“Yah.., lihat apa yang pernah kamu dengar sebelumnya,” jawabku sedikit malu. “Berkencan sesama jenis”, jawabannya langsung. Membuatku melebarkan mataku tanpa terkejut, melihat mata bulat yang indah itu.
“Nah.., kalau gosip yang kamu dengar sudah lengkap, kamu tidak perlu bertanya?”, aku mencoba menjawab dengan diplomatis.
“Cukup untuk membuatmu memeras uang,” katanya.
“Haha, bercanda!”, katanya lagi, supaya aku tidak tersinggung. Aku hanya tersenyum dan berpura-pura berkonsentrasi pada makan siang.
“Syukurlah kamu bisa hidup normal”, kataku pintar.
“Hihihi.., ayolah Jen, kreditnya sudah disetujui kan?”, tambahnya, “tidak ada yang perlu ditakutkan kecuali kamu menunggak!”, candanya.
Kami terdiam beberapa saat, tapi kemudian aku menyukai makanan betis. Meja kami kecil, jadi kami duduk cukup dekat sehingga kaki kami bisa bersentuhan. Tapi pertemuan ini bukan kebetulan. Saya suka jari-jari kakinya membelai betis saya dengan lembut, merangkak ke lutut saya, ke rok mini saya, dan menggosok di bagian dalam paha kiri saya.
Aku menatap matanya dalam-dalam seraya tidak tahu apa yang mesti aku lakukan, namun dia balik memandang wajahku, tersenyum, dilepaskannya gagang sendoknya, kemudian tangannya menyentuh lehernya sendiri dengan ujung jari tengah. Seperti orang tolol, pandanganku mengekor kemana larinya jari-jari lentik itu. Jemarinya bergerak pelan-pelan ke bawah, menyusuri lehernya, turun terus, kemudian berhenti saat tersangkut di kancing kemeja kuningnya.
Pada saat tersebut juga jari kakinya yang semenjak tadi diam salah satu kedua pahaku disodokannya ke depan, menyenggol kewanitaanku, memang tidak tepat pada bibirnya, namun lumayan memberiku sengatan birahi yang mendadak. Aku lumayan mengagumi keindahan tubuhnya, tetapi aku masih segan guna bereaksi, aku malu sebab Nana pernah menjadi orang yang lumayan aku hormati.
Dilemparkannya kemejanya ke atas ranjang, menyusul bra dan celana dalamnya. Aku diam menatap tubuhnya yang kini terbalut rok mini biru tua itu. Payudaranya nampak estetis sekali bentuknya, bulat, tidak terlampau besar tetapi kencang, putih bersih, dan putingnya kecil sekali berwarna coklat muda. Ia melangkahkan kakinya mendekati tempatku duduk.
“Jenn”, bisiknya, “Aku mendengar seluruh gosip mengenai kamu. Tentang anak-anak basket yang lesbi, dan mengenai apa yang anda lakukan dengan guru geografi di perpustakaan masa-masa itu. In fact, nyaris semua orang membicarakannya, tetapi nggak terdapat yang berani terang-terangan menuduh”, Sambungnya lagi.
Aku tetap diam, menundukkan kepalaku dengan rasa tidak enak.
“Aku iri dengan Reni dan Evelin yang dapat setiap ketika mandi bareng kamu, tidur bersama di lokasi tinggal kost, melihat anda dengan kaos basah di ruang ganti..”, bisiknya lagi, seolah menelanjangi masa laluku yang berkeinginan aku lupakan. Aku tetap tertunduk saat tiba-tiba Nana meraih kepalaku dan mendongakkannya. Karena posisiku duduk dan dia berdiri, maka mataku langsung berhadapan dengan sepasang payudaranya yang estetis itu, dengan puting-puting yang masih flat, menantikan untuk dibangunkan.
Aku tetap terdiam, walau jari-jari Nana menyusupi rambutku yang lurus dan pendek, mengelus pipi dan rahangku, membelai tengkukku kemudian aku mendengar suaranya lagi.
“Jenn, please..”, Katanya, aku melirik ke atas, menatap matanya. Kaca matanya tak dapat menyembunyikan sorot memelas dari kedua mata bulatnya. Tanganku mendekap pinggulnya menariknya mendekat. Aku segera mendaratkan bibirku tepat pada puting susu kanannya, menghisap, melingkarinya dengan lidahku, terus-menerus.
Aku menikmati cengkeramannya pada kepalaku menguat, aku mendengar desahan nafasnya makin tak teratur, Aku melirik ke wajahnya, aku menyaksikan alisnya menyatu, matanya terpejam, mulutnya ternganga menerbitkan desahan nafas tak beraturan.
Aku ikut kehilangan kontrol, wajahnya begitu membangunkan hasratku, aku segera mengalihkan mulutku ke puting susu kirinya, meremas payudaranya seraya mengulum putingnya, ekspresi wajahnya mengindikasikan perasaan kegelian yang amat sangat, tubuhnya menggeliat-geliat kecil, kakinya terlihat goyah, tak lama lantas ia jadi lunglai laksana selembar handuk, rebah di atas karpet tebal kamar itu. Cukup lama aku memainkan kedua payudaranya dengan mulut dan tanganku sedangkan tangannya sendiri sudah masuk ke balik rok mininya.
Tiba-tiba ia mendorongku sampai kini aku sedang di bawah tubuhnya. Wajahnya nampak begitu dekat dengan wajahku, ia mendaratkan ciumannya di bibirku, menghisapnya kuat-kuat, seraya tangannya membuka
kancing-kancing blazer dan kemejaku. Aku tidak mengerti mengapa aku diam, namun sekarang aku menikmati tangannya sudah menerobos bra Marks & Spencer-ku. Dilepaskannya bibirnya dari bibirku, ia menjilati dan menciumi semua rahang dan leherku, memberiku rasa hangat yang nikmat.
Ditariknya braku ke atas sampai ia dapat menyaksikan payudaraku. Ia terlihat begitu bernafsu memandanginya diremas-remasnya kedua payudaraku dengan gemas hingga terasa agak sakit. Tiba-tiba mulutnya menyerbu puting susuku yang kiri, melumatnya, menghisap, dan menjilatinya.
Rangsangan yang tiba-tiba membuatku terpejam dan meringis menyangga rasa geli yang tiba-tiba menyerbu. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, aku menikmati gerakan lidahnya semakin menjadi-jadi. Kedua puting susuku dijilati dan dihisapnya bergantian, rasanya geli sekali, tanganku mencoba memegang erat pinggangnya, tetapi rasa geli pada puting-putingku terasa membuatku lemas dan aku menikmati sesuatu sudah meleleh terbit dari kewanitaanku.
Ditariknya celana dalamku sampai lepas, disingkapkannya rok miniku ke atas, kakiku dikangkangkannya, kemudian ia menempelkan kewanitaannya pada kewanitaanku, digosoknya naik turun, aku menikmati hangat dan nikmat yang tak tertahankan, aku mengerang dan merintih keras-keras tak peduli siapa yang bakal mendengar.
Aku tergeletak telentang di atas karpet cokelat muda itu, aku melihatnya seperti menempati selangkanganku, menciptakan kewanitaan kami saling bergesekan, tangannya berpegangan pada payudaraku, jempol dan telunjukknya memilin-milin keras puting susuku. Ia menggeliat-geliat seraya menaik-turunkan badannya, mendongakkan kepalanya ke atas, sampai aku dapat menyaksikan keindahan rahangnya yang luar biasa.
Aku sendiri menggeliat-geliat mencoba menyangga gempuran rasa geli dan nikmat yang mengalir memenuhi tubuhku lewat payudara dan kewanitaanku.
“Aduhh, Nanaa.., ohh..”, Aku seolah mendengar sendiri eranganku yang tak beraturan.
“Uhh.., Jennii.., nikmat sekalii”, Ia merintih-rintih tak karuan, nafasnya kian memburu, gesekan kewanitaan kami semakin terasa hangat dan lembap, pelintiran dan remasannya menciptakan payudaraku serasa pegal meskipun kegelian. Aku megap-megap kegelian, punggungku terangkat dari karpet, melengkung laksana busur panah. Kenikmatan yang kudapatkan serasa merajam tubuhku, putingku terasa pegal dan geli sebab diplintir-plintir dari tadi, sedangkan kewanitaanku terasa berdenyut-denyut, rintihanku semakin tak karuan, birahiku makin memuncak.
Hingga kesudahannya aku merasakan tekanan dari dalam tubuhku mengarah ke kewanitaanku, tubuhku terasa kejang dan kaku, aku berjuang menahan walau sia-sia, kewanitaanku terasa tak dapat membendungnya, sampai akhirnya hentakan orgasme menghantam tubuhku. Aku menjerit keras-keras, memegang erat pinggang Nana, di tengah serbuan kesenangan itu, aku sempat menyaksikan badan Nana pun mengejang, gerakannya berhenti, tetapi aku mustahil mengingatknya lagi, sebab aku langsung menjangkau puncak. Cairan kami saling bercampur diantara kewanitaan kami, Nana roboh dan tergeletak disampingku, sedangkan aku sendiri merasa kehilangan seperempat kesadaranku sebab orgasme yang cukup dahsyat itu.
Kami terbaring berdampingan, dengan tubuh basah oleh keringat, kaki terasa pegal, dan nafas terengah-engah, serta mata terkatup rapat.
Aku melirik tubuh Nana yang telanjang di sampingku, tengah memejamkan mata dan terkulai lemah.
Aku sendiri tak kalah lelahnya, tubuhku masih dibungkus business suit, tetapi sudah terbuka di mana-mana, sampai payudaraku dapat merasakan dinginnya hawa AC ruangan, namun kesenangan orgasme tadi segera mengantarku ke alam bawah sadar, seluruh gelap lagi.. Hanya kesenangan dan kehangatan yang kurasakan mengalir dalam darahku.