Cerita 18+ Pijatan Terselubung – Di sore hari di depan rumah saya terdengar ramai oleh suara beberapa ibu-ibu yang baru pulang dari senam. Mereka ngobrol dengan mertua saya. Kedengarannya mereka mengajak mertua saya ikut senam.
Saya tidak tahu apakah mertua saya mau diajak ikut senam atau tidak. Saya tidak mengikuti percakapan mereka sampai selesai karena saya sibuk dengan beberapa pekerjaan saya. Sampai pada suatu hari mertua saya mengeluh kakinya sakit pada saya.
“Mami jadi ikut senam juga?” tanya saya pada mertua saya. “Iya, sebenarnya sih Mami nggak mau ikut, tapi Mami nggak enak nolaknya, nanti mereka bilang Mami sombong nggak mau bergaul,” jawab Mami, demikian saya memanggil mertua saya, mengikuti panggilan istri saya.
“Nggak apa-apa sih Mami ikut, senam itu kan sehat, Mi.” balas saya. “Tapi betis sama paha Mami jadi kencenggg…. rasanya.” kata ‘kencang’ sengaja dipanjangkan oleh mertua saya.
“Baru pertama kali suka begitu Mi, nanti kalau sudah sering akan jadi biasa. Coba Mami duduk, mana saya lihat.” kata saya.
Mertua saya lalu duduk di kursi, sedangkan saya berjongkok di depan tempat duduknya. Sewaktu saya pegang betisnya, tidak sengaja saya melihat ke dengkulnya. Ternyata pada mertua saya terbuka lebar. Saat itu ia memakai daster yang lumayan pendek, sehingga dari bukaan pahanya saya dapat melihat yang tidak pantas saya lihat, yaitu celana dalamnya.
Saya sangat menghormati mertua saya karena ia sangat sayang pada saya seperti ia sayang pada anak-anaknya. Saya jadi malu sendiri, tetapi namanya juga laki-laki, selalu tertarik pada yang indah-indah. Apalagi mertua saya belum tua banget, usianya baru 45 tahun. Wajahnya juga cantik manis, hidungnya mancung.
Saya intip celana dalamnya sambil saya pijit-pijit betisnya. Horny juga saya lama-lama bila saya terbayang ‘barang’ yang ada di balik celana dalamnya. “Aduhh.. sakit, Daffa!!” seru mertua saya tiba-tiba.
“Nanti saya urut aja deh kalau gitu,” kata saya. “Sekarang mana paha Mami, coba saya lihat. Dinaikkan saja dasternya.” suruh saya.
Tidak mungkin ia menolak saya. Selama ini mertua saya selalu percaya pada saya. Apa yang saya katakan pasti didengarnya. Ia menaikkan dasternya sekaligus sampai ke ujung pahanya. Melihat pahanya yang putih mulus dan masih kencang, iman saya makin ‘hancur’.
Apalagi dengan demikian celana dalamnya terlihat semakin jelas. Kalau saya tega, bisa-bisa saya perkosa mertua saya karena saking napsunya saya. Tapi tidak!
Saya tekan-tekan pahanya dengan jari tangan saya yang dirapatkan. “Ihh.. ngilu…” katanya dengan wajah meringis.
“Ayo deh Mi saya urut saja. Urutnya di mana?”
“Di kamar saja!” jawabnya.
Mertua saya jalan duluan ke kamar, sementara saya pergi ke kamar saya mengambil minyak urut yang biasa saya pakai untuk mengurut tubuh istri saya. Istri senang diurut oleh saya. Kalau habis diurut, ia bercinta lebih hot. Apalagi kalau saya urut vaginanya dan anusnya.
Saya tidak urut vagina dan anus istri saya hanya di luarnya saja, tetapi saya urut sampai ke dalam. kumasukkan jari saya ke vagina dan ke anus istri saya. Saya kuras kedua lubang itu sampai ia terkencing-kencing dan pub di tempat tidur.
Istri saya tampak lebih bersemangat dan lebih bergairah. Bongkahan pantatnya juga kelihatan lebih menyilaukan mata laki-laki kalau ia memakai celana ketat sampai-sampai suatu kali bosnya ketemu saya, bosnya bertanya pada saya, “Dikasih makan apa Bro bini lo? Makin hari makin kinclong aja..”
He.. he.. makanya kami tidak mau buru-buru punya anak. Kami masih ingin menikmati permainan seks tanpa diganggu oleh anak.
Saya membawa masuk minyak urut ke kamar mertua saya. Saya meminta ia berbaring tengkurap, lalu saya urut betisnya lebih dulu. “Biasanya kalau kaki dipijit sakit, badan Mami ada masalah.” kata saya memancing.
“Jadi, Mami nggak boleh ikut senam lagi dong?”
“Boleh, sambil masalahnya dibereskan dulu, Mi.”
“Menurut kamu, apa sih kira-kira masalah Mami?”
“Kan yang merasakan Mami sendiri? Menurut Mami bagaimana? Apa menstruasi masih lancar, menurut saya disitu sih kebanyakan masalah wanita.”
“Mami sepertinya sudah mau menopause, keluarnya sedikit sekarang dan nggak teratur..”
“Nah ini..” jawab saya biar mertua saya sedikit panik. “Nanti saya lihat! Sekarang saya urut paha Mami dulu, ayo… naikkan dasternya lagi, Mi.” suruh saya.
angan mertua saya lalu ke belakang menarik dasternya ke atas sampai pantatnya menyembul kelihatan. Saya segera naik ke atas tempat tidur membuka lebar kakinya, lalu saya berlutut di antara kedua kakinya mengurut kedua pahanya sekaligus dengan kedua telapak tangan saya.
Saya sengaja menghadapkan ibu jari saya ke bagian dalam paha mertua saya, dan ketika saya mengurut sampai ke atas pahanya, ibu jari saya sengaja saya tekan-tekan ke belahan pantatnya, sementara di bawah sana saya membayangkan ‘benda’ yang berada di balik celana dalamnya yang menggelembung padat itu.
Sekitar 15 menit saya mengurut paha mertua saya. “Balik, Mi.” suruh saya kemudian.
Setelah mertua saya terlentang dan masih dengan daster yang dinaikkan ke atas, kini saya bisa menyaksikan gumpalan daging di selangkangannya yang masih terselubung celana dalam.
Saya pura-pura menekan bagian bawah perutnya, tetapi gairah saya benar-benar bergelora hebat membayangkan vaginanya yang terselubung celana dalam itu. “Celana dalam Mami dibuka saja!” suruh saya.
“Ngggg… malu dong!” rajuknya.
“Yaudah, Mami periksa ke dokter aja..” saya menakutinya, soalnya ia paling takut kalau ke dokter.
“Mmm… tapi.. tapi kamu jangan cerita apa-apa sama Winda, ya?”
“Iya, dijamin!” jawab saya menyakinkannya.
Mertua saya pun melepaskan celana dalamnya. Saya pura-pura membersihkan tangan saya yang berminyak dengan tisu supaya ia tidak terlalu malu. Setelah ia berbaring kembali di tempat tidur, saya tidak mau segan-segan dan ragu-ragu lagi menaikkan dasternya. “Mmmm…” gumamnya malu dan mengambil bantal kepala menutupi wajahnya.
Dengan demikian membuat saya lebih gampang bekerja dan melihat kemaluannya dengan lebih jelas. Bulu-bulu hitam keriting ikal tumbuh hanya sejumput di bagian atas belahan vaginanya yang berwarna coklat tua.
Saya membuka lebar pahanya. Vaginanya tampak terbentang di depan mata saya sekarang. Bentuknya sudah keriput dan belahan vaginanya tertutup rapat oleh bibir vaginanya.
“Mami masih sering berhubungan seks dengan Papi nggak?” tanya saya.
“Nggak sih…”
“Lah, kok nggak sih? Kenapa dianggurin, Mi?”
“Papimu sudah bosen kali?”
“Mami yang ngajak dong.. jangan dianggurin gitu, Mi… masih bagus kok dianggurin, sayang lho Mi. Nanti Mami menyesal kalau sudah tua.” kata saya.
Dengan kedua jari, saya membuka lebar kedua lembar bibir vaginanya. “Aihhh… haa.. haaa.. hii.. hiii… iigghhh… aawhhh… hii.. hiiii.. aaaaw…” mertua saya bergumam dan menggeliat-geliat mungkin malu dan geli, karena vaginanya dipegang oleh saya.
“Saya urut ya, Mi..”
Tanpa perlu ia menjawab, saya tuang minyak urut ke tangan saya, dan dengan 2 jari yang terbuka, saya urut pelan-pelan bagian tepi vaginanya. “Hii.. hiii.. haahh… haahhh… oowhhh..”
“Jangan bergerak-gerak Mi..”
“Hiihh.. hiiiihhh.. geliii…”
“Itu tandanya vagina Mami masih ada reaksinya Mi, makanya dipakai, jangan dianggurin…” dengan jari telunjuk saya gosok-gosok kelentitnya dari atas ke bawah dari bawah ke atas secara berulang-ulang.
“Aagggh… aaakkkhh… ooogghh… aaaggghh… Mami gak tahannnnn… sudah.. sudahhh.. sudaaahh..!” seru mertua saya.
Saya bukan melepaskannya, tapi semakin menjadi-jadi. Saya dorong masuk jari telunjuk saya menembus lubang vaginanya. “Sebentar lagi Mi, tahan…” suruh saya.
Lubang vagina mertua saya yang basah itu saya tusuk-tusuk dengan jari, G-spotnya saya tekan-tekan, rahimnya juga saya dorong-dorong dengan ujung jari saya. “Ooooo….. Mami mau kencinggg… Mami mau kencingg.. ooo.. oohhhh…” jeritnya dengan napas terengah-engah.
“Iya Mi… ya Mi..” jawab saya dengan cepat saya keluarkan jari saya dari vaginanya, saya tarik keset di depan pintu kamar, lalu saya mendudukkannya di tepi kasur sambil saya topang punggungnya.
Currrrsss….. mertua saya kecing. Air kencingnya yang berwarna kekuning-kuningan itu memancar keluar dari lubang kencingnya dengan deras ke keset yang saya letakkan di dekat ranjang. “Oo… ooo… oooowh..” desahnya dengan napas masih terengah-engah.
“Sudah lega ya, Mi?” tanya saya kasihan padanya tetapi sekaligus saya horny melihatnya, namun saya belum mau menyetubuhinya. Sabar, masih ada lain waktu!
Ia bersandar lemas di bahu saya.
*****
Malamnya saat kami duduk berempat ngobrol sambil nonton televisi, mertua saya tampak malu-malu dengan saya, ia tidak berani memandang saya. Tapi kemudian Papi minta dibuatkan teh hangat. Mertua saya segera beranjak dari tempat duduknya pergi ke dapur.
Ctek… ctekk… ctek.. terdengar mertua saya menyalakan kompor. “Daffa…” teriaknya dari dapur.
Saya segera pergi ke dapur. “Kompor nggak bisa nyala ya, Mi?” tanya saya.
“Ya… tolong diperiksa, tadi Mami pakai buat panasin sayur masih bisa nyala,” katanya.
Saya putar tombol kompor lagi, tidak nyala juga kompornya. Kenapa ya? Setelah saya pikir-pikir, kemudian saya goyang-goyang selangnya. Setelah itu saya putar lagi tombolnya.
Nyala!
Mertua saya terbengong-bengong memandang saya. Barangkali ia heran. Setengah mati tadi ia memutar tombol kompor, tetapi dengan gampang kompornya saya nyalakan. Saya memeluk mertua saya. “Mami masak air dulu.” ujarnya.
Saya melepaskan mertua saya untuk masak air. Setelah ia menaruh teko di atas kompor, saya memeluknya lagi. Ia memandang ke arah pintu yang menuju ke ruang tengah, takut kalau tiba-tiba suaminya atau Winda masuk ke dapur, lalu ia berkata pelan-pelan pada saya, “Besok pijit Mami lagi, ya?”
“Tadi enak ya, Mi?”
“Sampai terkencing-kencing, enak apa?”
Saya mencium bibirnya. Mertua saya membalas ciuman saya. Saya meremas payudaranya. “Jangan diremas-remas, ahh..” katanya melepaskan bibirnya dari bibir saya.
“Menggemaskan sih…”
“Menggemaskan apa, tetek kecil gitu…”
Saya menaikkan kaosnya. “Tuh.. Papi kamu…” mertua saya mau menakuti saya, tetapi saya tidak bisa ditakuti. Soalnya saya sudah terlanjur napsu padanya sejak tadi, jadi saya tidak segan lagi dengannya.
Setelah saya menaikkan kaosnya dan payudaranya yang telanjang sudah berada di depan saya, saya langsung menunduk menghisap puting susunya. Puting susu mertua saya kecil dan payudaranya juga kecil. “Aahhh… Daffa… Tomm.. Daffa… Daffa… aagghh… ooogghh… aahhh… ooo… arrgghhh…”
“Igghhh…” ia mencubit pinggang saya setelah saya melepaskan putingnya yang saya hisap. “Genit kamu! Berani kurang ajar sama mertua.”
Hee… hee… saya hanya tertawa santuy.
Air di teko sudah mendidih, saya melepaskan mertua saya pergi membuat teh untuk suaminya. Pada saat saya mau tidur, saya tidak bisa tidur. Tengah malam Winda bangun mengajak saya bermain seks. Akhirnya saya kecapean dan ngantuk karena 3 kali saya mengeluarkan air mani.
Kasihan Winda, ia tidak tahu saya bersetubuh dengannya sembari saya membayangkan Maminya.